Hipertensi bisa dikendalikan dengan obat dan perubahan gaya hidup. Jika dibiarkan, hipertensi bisa merusak organ tubuh vital.
Demikian
benang merah pemaparan Santoso Karo-karo, dokter spesialis jantung dan
pembuluh darah dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, serta
Suhardjono, Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI dan dokter ahli ginjal
dan hipertensi, dalam pertemuan dengan wartawan, Rabu (9/5) di Jakarta.
Hipertensi
ditandai dengan tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg. Deteksi
hipertensi bisa dilakukan dengan pengukuran tekanan darah rutin. ”Paling
baik mulai ukur tekanan darah sejak remaja,” kata Santoso.
Santoso
mengatakan, tekanan darah hanya bisa diukur dengan alat pengukur.
Karena itu, ia meluruskan mitos bahwa peningkatan tekanan darah bisa
dirasakan melalui tengkuk yang tegang dan kepala pusing. Menurut dia,
gejala itu secara klinis bukan indikator hipertensi. Sakit kepala bisa
disebabkan oleh demam atau sakit gigi.
Sering kali hipertensi terjadi tanpa gejala. ”Sebanyak 90-95 persen hipertensi tidak diketahui penyebabnya,” kata dia.
Orang
dengan tekanan darah tinggi disarankan segera memeriksakan diri agar
mendapat terapi yang tepat. Jika dibiarkan, meski tanpa keluhan,
hipertensi bisa merusak organ tubuh vital, seperti ginjal, otak,
jantung, dan pembuluh darah sehingga menimbulkan kecacatan, bahkan
kematian. Selain itu bisa menyebabkan disfungsi ereksi.
Santoso
mengatakan, hipertensi disertai diabetes dan kebiasaan merokok akan
meningkatkan risiko kematian karena penyakit jantung koroner dan stroke.
Untuk mengurangi faktor risiko, Santoso menyarankan penerapan gaya
hidup sehat, seperti menurunkan berat badan, mengonsumsi sayur, buah,
dan daging putih, mengurangi konsumsi garam, meningkatkan aktivitas
fisik/olahraga, serta mengurangi alkohol.
Menurut Santoso,
penurunan tekanan darah 2 mmHg bisa mengurangi 7 persen risiko kematian
akibat serangan jantung dan 10 persen risiko kematian akibat stroke.
Untuk
tetap sehat, orang normal harus menjaga tekanan darah di bawah 140/90
mmHg. Adapun orang yang sudah memiliki faktor risiko seperti gangguan
jantung, diabetes, atau gagal ginjal harus menjaga tekanan darah di
bawah 130/80 mmHg.
Data Asosiasi Jantung Amerika menyebutkan, satu
dari tiga orang di negara itu mengidap hipertensi. Di Indonesia,
angkanya sama. Mengutip hasil Riset Kesehatan Dasar 2007, prevalensi
hipertensi mencapai 31,7 persen. Hipertensi terjadi pada penduduk kaya
ataupun miskin. Dari jumlah itu, hanya 7,2 persen yang mengetahui
dirinya kena hipertensi dan hanya 0,4 persen yang minum obat.
Suhardjono
menyatakan, hipertensi adalah sindrom, yakni kumpulan dari penyakit.
Adanya hipertensi menunjukkan pengidap memiliki gangguan kesehatan,
seperti pengerasan arteri, disfungsi endotel, gangguan metabolisme
glukosa, dan gangguan metabolisme lemak. Pengidap hipertensi yang
terkontrol dengan obat perlu terus minum obat.
”Jika obat
dihentikan, tekanan darah akan meningkat lagi, bahkan bisa stroke.
Hipertensi tidak bisa disembuhkan, hanya dapat dikendalikan,” kata dia.
Ia
menekankan, perlunya kedisiplinan pasien untuk minum obat, mengubah
gaya hidup agar sehat, menghindari merokok, dan makan makanan sehat.
Selain itu, juga rutin kontrol.
Menurut Suhardjono, ada banyak
obat hipertensi. Penggunaannya harus sesuai dengan kondisi setiap
pasien. Karena itu, pengidap perlu periksa ke dokter untuk dicek
kondisinya agar bisa diberi pengobatan yang tepat. (ATK/ICH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar