Pendahuluan
Asal muasal
munculnya risiko permodalan pada perusahaan cukup sederhana, yaitu karena
perusahaan meminjam uang. Setiap perusahaan yang meminjam uang menanggung
risiko permodalan. Sebaliknya, perusahaan tanpa pinjaman, hanya mengandalkan
ekuitas, tidak menanggung risiko permodalan.
Mengukur Risiko Permodalan dengan DFL
Bab 15 akan
menguraikan risiko bisnis. Risiko ini merupakan fluktuasi laba sebelum bunga
dan pajak ( earnings before interest and
tax, EBIT ) relatif terhadap penjualan. Besarnya ukuran risiko bisnis
disebut tingkat leverage operasi,
TLO, atau degree of operating leverage,
DOL, yaitu perubahan EBIT relative terhadap perubahan penjualan. Jika DOL sama
dengan tiga berarti setiap kenaikan penjualan 1 % berakibat kenaikan EBIT 3 %.
sebaliknya, penurunan penjualan 1 % berakibat penurunan EBIT 3 %.
Ukuran
risiko permodalan bernama tingkat leverage
keuangan, TLK, atau degree of financial
leverage, DFL, yaitu rasio antara perubahan laba bersih dengan EBIT.
Seandainya
perusahaan tidak mengeluarkan biaya apapun setelah EBIT maka yang membedakan
besarnya EBIT dengan laba bersih adalah pajak. Bila pajak perusahaan telah
masuk ( tax bracket ) ke dalam
kelompok 30 % maka :
LABA BERSIH = EBIT ( 1 –
Tpajak)
Selama tidak ada
biaya lain setelah EBIT maka DFL sama dengan satu. Artinya, setiap kenaikan 1 %
EBIT menyebabkan kenaikan laba bersih 1 %. Sebaliknya, setiap penurunan EBIT 1
% menyebabkan penurunan laba bersih 1 %.
Mengukur Risiko Permodalan dengan
Koefisien Variasi
Ada cara lain pengukuran tingkat risiko
permodalan, yaitu dengan menggunakan ukuran koefisien variasi. Secara umum,
koefisien variasi merupakan rasio antara standar deviasi dengan nilai
ekspektasinya. Dalam mengukur risiko permodalan, yang diukur adalah koefisien
variasi EPS ( earnings per share,
laba bersih per lembar saham ).
Kasus
PT Miranda telah menyusun rencana
kerja dan anggaran untuk tahun depan. Ada
tiga scenario sebagai dasar penyusunan rencana, seperti ditunjukkan dalam table
9.1 dan table 9.2 berikut. Scenario tersebut adalah optimis, normal, dan
pesimis.
Table 9.1 menunjukkan scenario
apabila perusahaan tidak meminjam, atau rasio D/E ( debt to equity ) nol. Table
9.2 menunjukkan scenario apabila perusahaan mengubah struktur modalnya menjadi
D/E 40 %.
Skenario
EPS
|
||
Kondisi
|
Probabilitas
|
|
Optimis
|
25 %
|
Rp. 100
|
Normal
|
50 %
|
Rp. 125
|
Pesimis
|
25 %
|
Rp. 150
|
Tabel 9.1 Skenario EPS tanpa
pinjaman
Skenario
EPS
|
||
Kondisi
|
Probablitas
|
|
Optimis
|
25 %
|
Rp. 75
|
Normal
|
50 %
|
Rp. 125
|
Pesimis
|
25 %
|
Rp. 175
|
Tabel 9.2 Skenario EPS dengan komposisi modal
D/E 40 %
Dengan menggunakan
cara penghitungan seperti ditunjukkan dalam Apendik 3, diperoleh bahwa tanpa
pinjaman ( sesuai data Tabel 9.1 ) maka diperoleh ekspektasi EPS sebesar Rp.
125 / lembar saham dengan standar deviasi Rp. 12,5. Berdasarkan perhitungan
tersebut, besarnya koefisien variasi adalah :
Koefisien variasi = 12,5 x 100 % = 10 %
125
Koefisien
variasi menunjukkan tingkat risiko. Semakin tinggi koefisien variasi, semakin
tinggi risikonya. Koefisien variasi EPS perusahaan tanpa pinjaman mencerminkan
risiko bisnis.
Dengan cara yang
sama untuk data table 9.2, diperoleh ekspektasi EPS Rp. 125 dan standar deviasi
Rp. 25. Besarnya koefisien variasi adalah :
Koefisien variasi = 20 x 100 % = 20 %
Koefisien
variasi EPS perusahaan yang memiliki tanggungan pinjaman mengandung dua jenis
risiko : risiko bisnis dan risiko permodalan. Perhitungan di atas menunjukkan,
risiko bisnis sebesar 10 %. Oleh karena itu, risiko permodalan sebesar :
Koefisien permodalan = 20 % - 10 % =
10 %
Cara
penghitungan risiko permodalan dengan menggunakan ROE sama dengan cara
penghitungan risiko permodalan dengan menggunakan EPS, seperti diuraikan di
atas. Pengertian keduanya juga sama. Semakin tinggi komposisi pinjaman dalam
struktur modal, semakin tinggi risiko permodalannya.
Pengelolaan Risiko Permodalan
Pada dasarnya,
ada 4 variabel yang perlu mendapat perhatian manajemen berkaitan dengan risiko
permodalan : jumlah modal, jenis modal, sumber modal, dan struktur modal.
1.
Jumlah modal
Komisaris dan
manajemen perlu memastikan bahwa pencarian modal tidak sia – sia untuk dibuat
menganggur. Setiap Rupiah uang dalam laci atau rekening perusahaan dating dari
suatu sumber, dan perusahaan harus membayar biaya untuk mendatangkan uang
tersebut. Semakin banyak modal menganggur, semakin besar biaya modal sehingga
semakin kecil profitabilitas perusahaan dan semakin kecil nilai perusahaan atau
kekayaan pemegang saham.
Penempatan
jumlah modal yang diperlukan pada dasarnya merupakan kebutuhan turunan.
Artinya, perusahaan menetapkan terlebih dahulu rencana strategis, setelah itu
baru bisa mengetahui besarnya kebutuhan.
2.
Jenis modal
Pada intinya
modal ada dua kelompok besar : ekuitas dan pinjaman.
Ekuitas
Ekuitas atau
modal sendiri adalah dana perusahaan yang bersumber dari pemilik perusahaan
atau pemegang saham. Sumber ekuitas yang biasanya menjadi target pertama adalah
laba ditahan ( retained earnings ).
Laba ditahan merupakan dana yang paling mudah diperoleh karena sudah berada di
tangan manajemen.
Mestinya
manajemen dapat mengharapkan setoran jenis ini juga tidak membutuhkan biaya
yang sangat besar. Masalahnya adalah pada penetapan nilai setoran. Bila nilai
nominal per lembar saham Rp. 10 juta, misalnya ( catatan : bagi perusahaaan
yang yang belum melakukan penawaran umum atau go publikc bisa saja menetapkan
nilai saham per lembar sangat tinggi,
tetapi tidak wajar bagi perusahaan yang telah go public, managemen dapat
menjualnya lebih tinggi dari Rp. 10 juta per lembar.
Pinjaman
JEnis modal
kedua, pinjaman adalah dana yang didapatkan perusahaan dari kreditur atau
investor dengan kesepakatan bahwa perusahaan berkewajiban mengembalikan dana
tersebut kepada kreditur atau investor sebesar nilai nominal dana plus beban
atau bunga pinjaman. Secara garis besar ada tiga jenis pinjaman : kredit,
penempatan langsung, dan obligasi.
Kredit berasal
dari dunia perbankan atau lembaga perantara. Kredit modal memiliki jatuh tempo
yang panjang, minimum lima
tahun. Pinjaman mengandung resiko yang lebih tinggi dari ekuitas karena
perusahaan wajib membayar bunga dan mengembalikan pokok pinjaman, apapun
kondisi perusahaan. Itulah sebabnya, manajemen lebih suka mendapatkan ekuitas dibanding
pinjaman.
Penempatan
langsung merupakan dana pinjaman untuk investasi yang bersumber dari lembaga
keuangan nonbank. Dana pension, asuransi, dan lembaga nonbank
lainnya.memungkinkan untuk menyisihkan dana yang mereka kumpulkan untuk
disalurkan dalam bentuk pinjaman.
Obligasi
merupakan dana pinjaman yang diterima langsung dari investor atau pemilik dana
melalui mekanisme jual – beli sertifikat obligasi.
Perusahaan dapat
mengeluarkan obligasi dengan karakteristik tertentu. Menurut status
kepemilikan, perusahaan dapat mengemisi obligasi atas unjuk atau obligasi atas
nama. Obligasi atas tunjuk merupakan sertifikat utang yang tidak mencantumkan
nama dan alamat pemilik pada sertifikat tersebut.
Kelemahan dari
obligasi atas unjuk adalah dalam hal transaksi. Investor perlu mendaftarkan
obligasi yang ditransaksikan supaya status pembeli obligasi dicatat dan berhak
atas pembayaran bunga dan uang pokok saat jatuh tempo.
Untuk kedua
jenis obligasi tersebut, perusahaan juga dapat memilih bentuk bunga dari
obligasi. Ada
obligasi tanpa bunga dan ada obligasi dengan bunga.
Dari namanya
sudah jelas, obligasi tanpa bunga tidak memberikan bunga kepada investor
obligasi. Sebaliknya, obligasi dengan bunga memberikan sejumlah uang kepada
investor obligasi berupa bunga. Obligasi jenis ini melampirkan kupon – kupon
sebagai tanda bukti.
Obligasi dengan
bunga juga ada 2 macam : obligasi dengan bunga tetap dan obligasi dengan bunga
mengambang. Pada obligasi dengan bunga tetap, emiten tidak akan mengubah
tingkat bunga selama umur obligasi yang bersangkutan. Berbeda dengan obligasi
dengan bunga mengambang, emiten dan bank wali amanat akan menghitung ulang
besarnya bunga yang harus dibayarkan ke investor secara regular.
3.
Sumber Modal
Ada 3
jenis utama sumber ekuitas : laba ditahan, modal setoran pribadi dan modal
setoran public. Ada
3 pinjaman : kredit, penempatan langsung dan obligasi.
Sumber laba ditahan
sudah jelas : internal perusahaan. Perusahaan mendapatkan laba, kemudian
manajemen menegosiasikan kepada pemegang saham untuk tidak membagi dividen.
Kalaupun membagi, manajemen perlu melobi untuk memberidividen dalam jumlah
kecil.
Selain prinsip
residual, manajemen juga perlu mempertimbangkan pola pemberian dividen selama
ini. Ada
perusahaan yang memegang prinsip dividen konstan. Artinya, manajemen selalu
mengusahakan supaya besarnya dividen selalu sama dari waktu ke waktu. Bila
berubah, investor atau pemegang saham akan curiga jangan –jangan ada sesuatu
terjadi di perusahaan.
Sumber ekuitas
kedua, setoran modal pribadi, dapat berasal dari dua jenis investor. Jenis
pertama, pemegang saham saat ini. Selama masih memiliki dana, pemegang saham
berkepentingan untuk menambah setoran modal, selama manajemen dapat meyakinkan
mereka. Tetapi, bila telah kehabisan dana, atau ingin berbagi risiko dengan
pihak lain, pemegang saham saat ini dapat memberi lampu hijau kepada manajemen
untuk mengundang pihak lain memiliki saham perusahaan. Inilah jenis kedua,
yaitu bisa individu yang kaya atau perusahaan yang mau menanamkan sebagian
dananya dalam bentuk saham penempatan langsung.
Pinjaman dalam
bentuk kredit bersumber dari perbankan. Perusahaan dapat memanfaatkan kredit
local maupun luar negeri untuk menggalang modal pinjaman.
Bentuk kedua
pinjaman, penempatan langsung pinjaman, dapat diperoleh perusahaan dengan biaya
yang relative murah.
Bentuk ketiga
pinjaman, obligasi, semakin menggiurkan di dunia dengan pasar modal yang
semakin berkembang. Perusahaan pencari dana berlomba – lomba menanamkan nama
baik dan popularitas supaya memiliki akses ke pasar modal. Semakin besar nama
perusahaan, semakin bagus kinerja, semakin kecil beban bunga obligasi.
Proses memasuki
pasar modal dengan menjual obligasi sama dengan proses memasuki pasar modal dengan menjual saham.
4.
Komposisi Modal
Komposisi modal
berarti penetapan berapa pinjaman, berupa ekuitas. Apapun yang dilakukan
perusahaan, divestasi, likuidasi, atau akuisisi, berdampak pada perubahan
modal.
Ada 3 tolok ukur komposisi modal yang baik.
Pertama, ekspektasi EPS ( earnings per
share, laba bersih per lembar saham ). Ukuran ini paling gampang digunakan
dan dikomunikasikan ke pemegang saham.
Ukuran lain
komposisi modal yang baik adalah biaya modal terendah. Ekuitas yang dikuasai
perusahaan ada biayanya, yang disebut biaya ekuitas.
Demikian juga
dengan pinjaman. Setiap pinjaman mengandung biaya efektif. Semakin tinggi
persentase pinjaman dalam modal, semakin tinggio biaya pinjaman karena risiko
pinjaman makin tinggi.
Biaya modal
merupakan penggabungan kedua jenis biaya tersebut, biaya ekuitas dan biaya
pinjaman setelah disesuaikan dengan penghematan pajak.
Atas dasar
pertimbangan biaya modal, pilihan komposisi pinjaman. Terletak pada rasio
pinjaman – ekuitas dengan biaya modal terkecil.
Pada rasio
pinjaman – ekuitas rendah, biaya ekuitas dan biaya pinjaman rendah, sehingga
biaya modal, sebagai rata – rata tertimbang keduanya, juga rendah.
Ukuran ketiga
ini merupakan yang paling baik karena sejalan dengan tujuan pengelolaan
perusahaan. Tujuan pengelolaan perusahaan adalah untuk memaksimalisasi kekayaan
pemegang saham. Kekayaan tersebut langsung terukur dengan harga saham atau
nilai kini dari ekspektasi arus kasnya.
Semakin banyak
pinjaman, semakin besar tambahan keuntungan, semakin besar tambahan keuntungan,
semakin besar tambahan arus kas bebas, dan semakin tinggi harga saham. Sampai
pada suatu titik di mana kenaikan arus kas bebas tidak setinggi kenaikan biaya
modal.
Rasio pinjaman –
ekuitas yang paling ideal ini bisa menjadi acuan manajemen untuk menentukan
kapan pinjam, dan kapan mencari ekuitas.
Risky
Poppy Jayanthy Sinaga ( 0732150058 )
David
Yunus Siregar ( 0732150075 )
Parlin.
C. M. Sihombing ( 0732150047 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar